Pecinta alam sering diasosiasikan negatif oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini terutama dikaitkan dengan perilaku individu maupun kelompok yang sering mengabaikan norma-norma sosial dalam pengekspresian pola pikir, ideologi maupun afeksifitas.
Setiap komunitas memiliki idealisme dan norma kelompok yang membedakan komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Tak terkecuali komunitas-komunitas kepencintalaman. Norma-norma dan idealisme ini merupakan hal yang prinsipal dan mendasar sehingga bila pada suatu titik norma-norma kelompok itu berbenturan dengan norma kolektif masyrakat, kompromi akan sulit dilakukan.
Pecinta Alam dan Pengubahan Citra
Pecinta alam sering diasosiasikan negatif oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini terutama dikaitkan dengan perilaku individu maupun kelompok yang sering mengabaikan norma-norma sosial dalam pengekspresian pola pikir, ideologi maupun afeksifitas. Setiap komunitas memiliki idealisme dan norma kelompok yang membedakan komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Tak terkecuali komunitas-komunitas kepencintalaman. Norma-norma dan idealisme ini merupakan hal yang prinsipal dan mendasar sehingga bila pada suatu titik norma-norma kelompok itu berbenturan dengan norma kolektif masyrakat, kompromi akan sulit dilakukan.
Salah satu norma harus diabaikan dengan segala konsekuensi. Yang terjadi umumnya norma kolektif masyrakatlah yang terabaikan. Ini yang menjadi masalah, masyarakat menjustifikasi komunitas kepencintaalaman tidak bernorma dalam perilaku kesehariannya. Pada dasarnya norma itu tetap ada namun dengan proporsitas yang lebih pada kebebasan. Inilah yang menjadi titik tolak berkembangnya citra negatif pada komunitas kepencinta alaman.
Manusia secara kodrati memang tertarik pada kebebasan. Tak tanggung-tanggung filsuf sekaliber Nietzche misalnya, menjadikan kebebasan sebagai tujuan dari hidup manusia, yang dijelaskannya tak mungkin tercapai bila individu tak berusaha menjadi adimanusia.
Kebebasan sendiri membawa dilema. Manusia selalu merasa tidak puas pada keadaan dirinya, hingga ketika ia telah menggenggam kebebasan itu pada suatu titik ia akan merasa jengah akan kebebasan itu sendiri. Ketika kejengahan terjadi, manusia menjadi lebih dapat menghargai aturan. Ini mungkin dapat dijadikan pembelaan bagi pola perilaku yang dianut oleh komunitas kepencintalaman. Tapi masyarakat butuh sesuatu yang lebih kongkrit untuk mengubah prasangka negatifnya terhadap sebuah komunitas tak sesuai norma.
Mengapa persepsi negatif tersebut harus diubah? Karena dalam operasionalnya toh sebuah komunitas akan dibenturkan dengan komunitas yang lain di dalamnya akan ada sebuah hubungan resiprok, saling tergantung, saling membutuhkan. Komunitas itu juga berada dalam sebuah komunitas yang lebih besar lagi dengan ketergantungan yang lebih besar pula. Memang perlu kompromi agar pengubahan persepsi tersebut dapat terwujud. Tapi untuk mengakomodir hal tersebut, bukankah berarti harus pula mengubah ideologi, prinsip, dan singkatnya mengubah ‘wajah’ sebuah komunitas? Maka langkah yang lebih cerdik perlu dilakukan.
Menaikkan posisi tawar dengan menawarkan apa yang kita punya (dalam hal ini komunitas kepencinta alaman) bisa dijadikan alternatif pilihan. Ketika kita berhasil memberikan kontribusi positif pada komunitas yang lebih besar maka penghargaan bukan tidak mungkin dapat kita tuai. Penghargaan ini dapat berupa rasa percaya maupun persepsi positif terhadap komunitas kita. Masih berbicara tentang nilai tawar dalam ruang lingkup global tanpa sekat-sekat komunitas (dimana kita berdiri sendiri-sendiri sebagai individu). Sekedar nilai akademis saja tak akan cukup untuk ‘menjual diri’.
Dunia yang semakin berkembang menuntut kita untuk memiliki ‘nilai tambah’ agar dapat ‘laku’ dalam pangsa kerja. Seperti apa nilai tambah itu? Nilai tambah ini dikemas dengan istilah soft skills. Soft skills tidak terefleksikan lewat angka-angka tetapi pola pikir dan perilaku. Pada dunia yang terus berkembang ke arah kapitalisme dan materialisme, soft skills inilah yang natinya akan laku keras. Soft skills meliputi skill-skill lainnya, seperrti learning skills, thinking skills, sampai leadership skills.
Learning skill merupakan ketrampilan yang dapat digunakan untuk selalu mengembangkan diri melalui proses belajar yang selalu berkelanjutan, sedang thinking skills merupakan suatu keterampilan yang berkaitan dengan pola pikir terutama dalam kaitannya dengan proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dan living skills adalah keterampilan hidup yang terdiri dari tanggung jawab, daya juang, keterampilan membangun dan memelihara hubungan sosial, kematangan emosi serta kemampuan mengelola diri.
Lantas apa kaitannya soft skills dengan komunitas pecinta alam dan reputasi negatif yang terlabel padanya? Komunitas pecinta alam dengan segala aktivitasnya mampu secara autodidak (tanpa training-training yang menghabiskan biaya itu) mengembangkan skill-skill yang memang harus dikembangkan dalam rangka pencapaian soft skills. Coba tengok Leadership Skills, leadership skills meliputi visi, pemahaman, common sense, kemantapan pengambilan keputusan, pemilikan keyakinan, semangat, motivasi serta kerjasama. Aplikasi dari keseluruhan aspek tersebut terepresentasikan lewat kegiatan-kegiatan operasional yang secara kontinyu dilakukan oleh komunitas kepencintaalaman.
Dalam kegiatan-kegiatan tersebut untuk dapat survive langsung maupun tak langsung kemampuan-kemampuan tersebut akan terasah dengan sendirinya. Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan dasar untuk mengembangkan skill-skill tersebut di atas, tapi pengkondisian jelas merupakan faktor yang tak dapat diabaikan. Komunitas kepencintalaman memiliki intensitas yang lebih tinggi untuk tenggelam dalam situasi yang mengkondisikan terasahnya skil-skill tersebut.
Jika kita berbicara tentang suatu komunitas atau kelompok, maka tidak bisa dilepaskan dari ulasan tentang dinamika kelompok, proses manajerialnya, serta peran faktor kepemimpinan dalam memanage suatu kegiatan kelompok. Sebagai sebuah organisasi, kelompok pecinta alam terdiri atas dua individu atau lebih yang bersama-sama dalam suatu hubungan psikis tertentu, dimana kondisi individu mempunyai arti bagi individu yang lain, dan mereka saling pengaruh-mempengaruhi antara pribadi satu dengan yang lain (Kartono,1995). Dari ‘kesalingan’ tersebut akan terjalin hubungan aksi-reaksi yang menjadi indikasi adanya suatu dinamika dalam suatu koelompok tersebut.
Misalnya, dalam sebuah ekspedisi (pendakian, pengarungan, pemanjatan, dsb), dalam sebuah perencanaan, harus termaktub manajemen waktu, perjalanan, peralatan, dan opsi-opsi yang harus diperhatikan serta diputuskan bila bahaya menghadang. Kita dilatih untuk bisa disiplin dalam segala hal tersebut diatas. Kontrol emosipun dibutuhkan dalam berkegiatan ini. Bayangkan bila kita harus bekerja bersama dengan bermacam-macam tipe kepribadian dan dalam keadaan yang selalu berubah. Mau tidak mau kita dituntut untuk belajar mengerti keadaan orang lain, belajar menghargai satu sama lain, dimana akan menuju satu hal, yaitu bekerja sebagai sebuah tim.
Bayangkanlah hal ini dalam skala yang lebih besar, yaitu dalam dunia kerja, maka kita sebagai penggiat kepecintaalaman setidaknya sudah memiliki gambaran tentang kondisi dunia kerja yang kurang lebih sudah didapat dari pengembangan dan pembelajaran dalam komunitas kepecintaalaman. Ini merupakan nilai tambah yang otomatis didapat dan memiliki nilai tawar di komnunitas mesyarakat. Tapi hal tersebut tidak lantas mengubah perspsi dan pandangan masyarakat terhadap komunitas kepecintaalaman. Disinilah letak dilemanya.
Disatu sisi hal ini memiliki nilai tambah yang positif tapi tetap tidak dapat langsung mengubah persepsi masyarakat terhadap komunitas kepecintaalaman. Usaha tersebut tentu saja memerlukam perjuangan keras dan usaha yang tak henti-henti sampai di satu titik dimana tercapai kesesuaian antara nilai-nilai yang dianut oleh komunitas kepecintaalaman dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, tentu saja setelah adanya kesesuaian persepsi diantara keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar