Kamis, 10 Maret 2011

Tentang Pecinta Alam

Permasalahan lingkungan bukan semata-mata persoalan moral namun juga krisis moral secara global. Menurut Arne Naess, krisis lingkungan yang terjadi hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Dibutuhkan sebuah pola hidup atau gaya baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia berinteraksi dengan lingkungan hidup saat ini.

Cara pandang sangat menentukan gerak langkah manusia terhadap kegiatannya, termasuk dalam memperlakukan alam ini. Dua cara pandang yang dominan diantaranya adalah antroposentrisme dan ekosentrisme, keduanya mempunyai alasan masing-masing dari beberapa tokohnya.
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Cara pandang ini menyebabkan manusia mengekploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kebutuhan kepentingan manusia. Selain itu, cara pandang ini pun melahirkan sikap yang rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhan hidupnya dari alam tanpa memperhitungkan kelestariannya. Alam dipandang hanya demi kepentingan manusia, sehingga sebagian pihak mengatakan krisis lingkungan dianggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris ini.

Imanuel Kant, salah seorang penganut teori ini, mengatakan, hanya manusia yang merupakan makhluk rasional, diperbolehkan secara moral menggunakan makhluk non rasional lainnya untuk mencapai suatu tatanan dunia yang rasional.

Cara pandang kedua yaitu ekosentrisme yang merupakan kelanjutan teori biosentrisme (teori yang menganggap bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri sehingga teori ini menganggap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta). Bahkan sering disamakan begitu saja karena ada kesamaan di antara keduanya. Kedua cara pandang ini mendobrak cara pandang antroposentris.

Selanjutnya, ekosentrisme diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Sekarang populer dengan nama Deep Ecology yang pertama kali dikenalkan oleh Arne Naess, Filsuf Norwegia, pada 1973. Naess kemudian dikenal sebagai tokoh deep ecology sampai sekarang.

Manusia adalah tertuduh dari ambruknya kualitas bumi, ia dinilai terlampau asyik memuaskan syahwatnya tanpa mempedulikan akibat pada bumi. Mental dan nalar antroposentris dinilai sebagai muasal. Antroposentrisme yang merusak justru ditahbiskan kesucian epistemologinya oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan modern adalah kabar buruk dari ideologi patriarkal barat (Vandana Siva,seorang tokoh ekofeminis india).

Hal inilah yang kemudian menimbulkan dorongan bagi sebagian orang untuk mengabdikan dirinya bagi kelestarian alam dengan melakukan berbagai upaya untuk dan menyandang nama sebagai Pencinta Alam.

Tentang PA, hari ini…

Kode Etik Pencinta Alam:

Pencinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan YME

Pencinta Alam Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab terhadap Tuhan

Pencinta Alam Indonesia sadar bahwa Pencinta Alam adalah sebagai mahluk yang mencintai Alam sebagai anugerah Tuhan YME

Hampir di setiap kesempatan, event apapun yang dilakukan oleh yang menamakan dirinya pencinta alam, kode etik itu selalu dibacakan dan diperdengarkan pada semua orang…yang menjadi pertanyaan kemudian apakah hal tersebut terwujud dalam tingkah laku orang yang membanggakan dirinya dengan menamakan diri Pencinta Alam?

Sering dalam melakukan kegiatan di alam bebas yang banyak pencinta alam cenderung hedonis alias hura-hura. Berapa persen, sih, dari total “jam terbang” Pencinta Alam yang benar-benar didedikasikan untuk upaya pelestarian lingkungan hidup? Mungkin prosentasenya jauh lebih kecil dibandingkan waktu yang kita habiskan sebagai penikmat alam.

Benar jika kemudian berkembang stigma, bahwa pecinta alam saat ini sudah jauh melenceng dari makna sebenarnya. Mereka yang menamakan klub pecinta alam justru tidak mengerti apa makna pecinta alam itu yang sebenarnya. Sekarang klub pecinta alam tumbuh bagaikan jamur di waktu hujan. Namun sayangnya pecinta alam sekarang ini lebih mengutamakan pada petualangan dan penaklukan alam. Bukan untuk melestarikan alam. Sehingga disadari atau pun tidak kita ikut ambil bagian dari kerusakan alam ini. Harusnya klub pecinta alam menjadi ujung tombak dalam menjaga kelestarian alam ini bukan sebaliknya. Banyak sudah orang-orang yang mampu menggapai atap-atap dunia, tapi hanya segelintir aja yang benar-benar peduli dengan alam ini.

Dalam tataran realita, tidak sedikit pencinta alam yang mempunyai arah dan gerakannya tidak mencerminkan diri sebagai pencinta alam. Contohnya kita bisa melihat bagaimana kasus vandalisme yang terjadi di puncak gunung. Siapa lagi kalau bukan orang yang sering naik gunung dan ini sudah menjadi persepsi yang kuat dalam masyarakat mengenai berubahnya paradigma pecinta alam. Berubahnya paradigma pencinta alam telah menyebabkan sulit untuk membedakan antara pecinta alam dan atau pegiat alam terbuka. Keduanya menyatu dalam satu diri namun sisi pencinta alamnya kadang menjadi buyar.

Pencinta alam lebih populer dengan gerakan enviromentalismenya sedangkan penggiat alam terbuka lebih lekat dengan aktivitas-aktivitas petualangan (adventure) seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang mejadikan alam sebagai medianya.

Tentang PA, Esok :PA itu adalah…

PA merupakan singkatan dari Pecinta Alam bukan Pemerkosa Alam atau sekedar Penikmat Alam ataupun juga Pegiat Alam. PA sejati adalah dimana ia bisa menyatukan dirinya dengan alam, membaurkan diri dengan alam, melestarikan, menjaga dan mempergunakan alam itu sebagai tempat dimana manusia hidup, akan tetapi bukan bertujuan untuk merusak. PA itu juga bukan ajang untuk menaklukan organisasi lain dalam arti hanya untuk
ngeceng saja.

Akan tetapi PA itu adalah bagaimana cara kita (sadar) akan keberadaan alam. PA tidak hanya memperkenalkan / mengenal alam itu sendiri, akan tetapi juga meminta kita agar bagaimana alam ini tidak dirusak tetapi dilestarikan.

Seorang pecinta alam harus bisa hidup selaras dengan alam dan berusaha agar alam tersebut tetap lestari. Seorang pecinta alam seharusnya melindungi dan melestarikan edelweis bukan memetik edelweis hanya untuk suatu kebanggaan yang tak berarti. untuk membuat kita bangga telah jelajah gunung atau hutan kita seharusnya tidak merusak alam, cukup dengan foto itu sudah lebih dari cukup” komentar salah seorang anggota Mapala.

Karena itu sebenarnya pencinta alam harus mengetahui segala kaidah lingkungan sebagai bagian dari gerak dan pola acuan tindakannya. Kalau dilihat dari nama sebagai Pencinta Alam yang sebenarnya dalam korelasi positif banyak yang mencintai alam maka alam akan semakin lestari.

Tapi dalam realitanya, banyak perhimpunan belum kelihatan kontribusi nyata untuk lingkungan hidup. Lihatlah, bagaimana kasus kawasan konservasi yang semakin hari semakin menyusut atau kawasan hutan kota yang hampir habis tetapi pencinta alam belum ada yang turun menyuarakan/mengeluhkan hal tersebut.

Degradasi kultura dalam tubuh pencinta alam memang bukan tanpa alasan. Semasa orde baru, arah pencinta alam diarahkan untuk tidak mengikuti pola
gerak dari green peace atau the german green yang berani mengkritisi setiap kebijakan pemerintah. Di lain pihak keberadaan pencinta alam adalah sebuah awal gerakan lingkungan di mana lingkungan sebagai wahana kehidupan berada pada keseimbangan yang lestari dalam dimensi politik, ekonomi,sosial dan budaya. Jika salah satu/beberapa ditambah porsi kepentingannya, maka akan mengganggu yang lain dan biasanya yang menjadi korban adalah alam lingkungan hidup.

Ciri lain dari pecinta alam (PA) adalah perubahan. Karena itu, dalam gerakan lingkungan hidup, PA selalu menginginkan/memperjuangkan adanya perubahan (semakin baik) dalam politik, sosial, ekonomi dan budaya dengan lingkungan hidup sebagai tema sentral.
“Bumi ini Cukup untuk semua orang tapi tidak Untuk Dua Orang Yang Serakah”

(Mahatma Gandhi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar